PENDAHULUAN
Madrasah merupakan bagian dari aset bangsa yang secara regional maupun nasional telah menunjukkan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Data nasional yang dirilis Departemen Agama tahun 2007 menunjukkan terdapat kelembagaan madrasah yang jumlahnya cukup signifikan. Jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI) ada 22.610, dari jumlah itu MI Swasta mencapai 21.042 atau 93,07%, sedangkan MI Negeri hanya 1.569 buah atau 6,93%. Kemudian jumlah Madrasah Tsanawiyah (MTs) ada 12.498, dari jumlah itu, 11.234 atau 89,89% MTs berstatus swasta, dan MTs Negeri hanya 1.264 buah atau 10,11%. Pada tingkat Madrasah Aliyah (MA), secara keseluruhan jumlah MA 4.918 buah, dari jumlah tersebut, 4.278 atau 86,98% di antaranya berstatus swasta, sedangkan MA Negeri hanya 640 buah atau 13,02%. Jumlah madrasah ini secara kuantitas mempunyai kecenderungan bertambah terus rata-rata mencapai 3% per tahun.
Eksistensi madrasah tampaknya memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan itu adalah dominasi swasta pada penyelenggaraan madrasah. Hal ini membawa implikasi bahwa pasang surut madrasah sangat bergantung pada kondisi dan dinamika masyarakat setempat. Semakin maju tingkat perekonomian dan kualitas keberagamaan masyarakat setempat, maka akan semakin baik kualitas dan penyelenggaraan madrasah. Begitu pun sebaliknya. Padahal, berdasarkan data pada Direktorat Pendidikan Madrasah Depag pusat, sebanyak 84% siswa madrasah berasal dari kalangan kurang mampu. Realitas ini tentu menimbulkan implikasi madrasah sulit mengembangkan kelembagaannya. Direktur Pendidikan Madrasah Departemen Agama Drs H. Firdaus, MPd. menyatakan, permasalahan yang selama ini dihadapi oleh madrasah adalah persoalan mutu pendidikan. Masyarakat selama ini memberikan image bahwa madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua dibanding dengan pendidikan di sekolah umum.
Persoalan mutu ini menjadi hal yang urgen sekali terlebih di era globalisasi seperti saat ini. Globalisasi telah melahirkan masyarakat global (global comunity) atau dalam istilah Marshal McLuhan disebut sebagai global village (Desa Buana), sebuah komunitas yang tidak lagi bisa dihalangi oleh batas geografis suatu negara untuk berinteraksi dan berkomunikasi (borderless society). Globalisasi membuat dunia menjadi transparan akibat perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya sistem informasi satelit. Arus globalisasi lambat laun semakin meningkat dan menyentuh hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari. Maka muncullah konfigurasi globlalisasi yang meliputi Globalisasi informasi dan komunikasi, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, globalisasi gaya hidup, globalisasi media massa, serta globalisasi politik.
Masuknya perdagangan bebas menciptakan suasana kompetisi dalam setiap aspek kehidupan. Persaingan menjadi kata kunci yang menghiasi dunia keseharian masyarakat. Dalam logika hukum persaingan, kemenangan akan selalu berpihak kepada orang yang memiliki nilai lebih (baca: mutu yang lebih baik) dari pada pesaingnya. Dengan demikian, era globalisasi dengan sendirinya membawa terciptanya mobilitas kontes, yakni persaingan sengit dan terbuka dalam semua lini kehidupan.
Kalau kita ingin memenangkan persaingan dalam masyarakat global ini, kita harus memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dalam makna seluas-luasnya. Di sinilah kita harus benar-benar menyadari peran strategis sebuah institusi pendidikan, termasuk di dalamnya madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional sekaligus aset bangsa. Sebuah institusi pendidikan diyakini sebagai tempat yang paling tepat untuk membina, menempa, dan membentuk sebuah generasi masa depan yang berkualitas. Dengan demikian, ketika sebuah institusi pendidikan berkualitas, maka biasanya kualitas para lulusannya akan menggambarkankan kualitas intitusi tempat dimana dia belajar.
Makalah ini akan mencoba mengkaji Bagaimana realitas empiris dunia pendidikan di madrasah? Bagaimana realitas kualitas madrasah dalam hubungannya dengan mobilitas kontes? Serta apa yang harus dilakukan madrasah dalam menghadapi realitas kontestasi yang ketat tersebut?
MADRASAH DI INDONESIA: DINAMIKA DAN PROBLEMATIKA
Istilah Madrasah: Perspektif Historis.
Jika dikaji dari pengertian etimologis, istilah madrasah merupakan isim makan (nama tempat), berasal dari kata darasa, yang bermakna tempat orang belajar. Dari akar makna tersebut kemudian berkembang menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam.
Mahmud Yunus menyatakan bahwa untuk menelusuri asal-usul kata madrasah adalah hal yang sulit. Dari perspektif pendidikan Islam, kata madrasah mempunyai asal-usul yang panjang dan terdapat beberapa teori. Paling tidak terdapat tiga teori untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, sejalan dengan pertumbuhan dan penyebaran agama Islam di wilayah baru, selalu dibarengi dengan penyampaian dakwah kepada masyarakatnya, sehingga muncul tempat-tempat pendidikan. Dari tempat itulah muncul istilah madrasah. Kedua, madrasah muncul pertama kali dari madrasah nidhâmiyah (±1064 M), yakni lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh Nidhâm al-Mulk (w. 485 H/1092 M) wazir Malik Syah (1072-1092 M) dari dinasti Saljuk. Dengan munculnya istilah madrasah Nidhâmiyah tersebut baru diikuti oleh madrasah-madrasah lain. Pendapat ini banyak diikuti oleh sejarawan masa lalu, khususnya sejarawan pendidikan Islam. Ketiga, madrasah yang muncul pertama kali dalam sejarah peradaban Islam adalah Madrasah Baihaqiyah (± 400 H/1009 M) yang didirikan oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqi (w. 1023 M). pendapat ini banyak didukung oleh sejarawan kontemporer.
Ketiga teori tersebut sebenarnya mempunyai kaitan mata rantai yang tidak terputus satu dengan lainnya. Pertama, bahwa aktifitas kependidikan Islam menggunakan berbagai tempat, seperti masjid, istana, rumah-rumah ulama dan lainnya. Pada abad pertengahan, ketika masing-masing madzhab mencoba untuk mengajarkan pokok-pokok pikirannya yang disampaikan oleh seorang ulama (mudarris) penganut dari salah satu madzhab membentuk halaqah-halaqah mengambil tempat di sudut-sudut ruangan masjid dan dari sini muncullah istilah madrasah yang dihubungkan dengan nama madzhab. Seperti madrasah Maliki, Hanafi, Syafi’i atau Hambali. Kedua, perkembangan selanjutnya, setelah kondisi dan situasi masyarakat muslim semakin mapan-ditandai dengan pembangunan sarana prasarana untuk menunjang aktifitas pemerintah maupun sosial- memunculkan gagasan pemisahan fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan sebagai tempat belajar. Tempat-tempat inilah yang dipandang al-Markizi, Bulliet, Naji Makruf, al-Suyuthi dan lainnya merupakan madrasah pertama. Madrasah-madrasah yang dimaksud di antaranya seperti dikemukakan al-Subki yang dilansir oleh Abdurrahman Mas’ud, bahwa setidaknya ada empat madrasah yang muncul lebih awal dibandingkan dengan madrasah Nidhâmiyah, yakni Madrasah Baihaqiyah, Madrasah al-Sa’diyah, Madrasah Abu Sa’d al-Astarobadi dan Madrasah Abu Ishaq al-Isfarayani. Ketiga, Madrasah Nidhâmiyah yang diprakarsai oleh penguasa, dipandang sebagai kemunculan istilah madrasah dalam sejarah pendidikan Islam, lebih menunjukkan pengakuan secara resmi (legalitas) dari pemerintahan Islam sebagai penguasa. Pengakuan tersebut disertai dengan mendirikan madrasah sebagai lembaga pendidikan resmi (state institution).
Madrasah di Indonesia.
Eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia tergolong fenomena modern yang dimulai sekitar awal abad ke-20. Buku-buku tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia sejauh ini tidak menginformasikan adanya lembaga pendidikan yang disebut madrasah pada awal penyebaran Islam di ke bumi nusantara ini.
Sebelum nama madrasah muncul, ada beberapa tempat yang digunakan masyarakat muslim Indonesia sebagai tempat pendidikan, di antaranya masjid yang berfungsi ganda sebagai tempat ibadah dan aktifitas sosial keagamaan lainnya termasuk pendidikan. Selain itu juga dijumpai rumah-rumah tokoh masyarakat, ulama, kyai dan guru ngaji yang dijadikan pengajaran agama Islam. Nama lain yang lebih spesifik dan menunjukkan tempat pendidikan Islam di nusantara antara lain adalah meunasah yaitu tempat belajar al-Qur’an, do’a, salat dan tempat belajar agama bagi anak-anak/orang dewasa serta untuk salat berjamaah di kampung-kampung masyarakat Aceh. Dan bagi masyarakat Jawa dikenal dengan langgar atau tajug dan di tempat lain disebut dengan mesegit. Nama-nama tersebut merupakan nama lembaga pendidikan tingkat dasar.
Pendidikan agama pada tingkat lebih tinggi dilaksanakan di rangkang pada masyarakat Aceh, pondok pesantren pada masyarakat Jawa dan pada masyarakat Sumatra Tengah dikenal dengan surau. Kemudian sistem pengajaran tradisional ini mengalami perubahan dengan mengadopsi model Bealnda menjadi pengajaran berkelas, menggunakan bangku, meja kursi, papan tulis dan lainnya.
Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam, yang dicatat telah menggunakan model ini dan menggunakan nama madrasah adalah Syaikh Abdullah Ahmad yang mendirikan Madrasah Adabiyah (1909). Namun, perkembangan selanjutnya nama itu berubah menjadi HIS Adabiyah,
Evolusi kelembagaan pendidikan di Indonesia pada umumnya bermula dari pesantren, madrasah dan sekolah. Madrasah di Indonesia bisa dianggap sebagai kontinyuitas dari lembaga pendidikan pesantren atau surau.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia agaknya memiliki latar belakang sejarahnya sendiri, dan ini dikembalikan kepada situasi awal abad ke-20. Sehingga madrasah di Indonesia bukanlah madrasah seperti pada tradisi pendidikan Islam abad 11-12 di Timur Tengah. Pendidikan model pesantren tampaknya lebih identik dengan madrasah Timur Tengah. Namun demikian ada kemungkinan munculnya madrasah di Indonesia karena pengaruh pembaharuan pendidikan Islam di Timur Tengah kurun modern.
Tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia dilatarbelakangi, setidaknya oleh dua hal. Pertama, adalah faktor pembaharuan Islam dan kedua respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. kemunculan dan perkembangan madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam yang diawali oleh sejumlah tokoh intelektual Islam dan kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa, Sumatera maupun Kalimantan. Pendidikan dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat. Dalam kenyataannya, pendidikan yang terlalu berorientasi pada ilmu-ilmu agama ubudiyah, sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau dan pesantren, pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan perhatian kepada masalah-masalah social, politik, ekonomi dan budaya. Karena itu untuk melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu, langkah strategis yang harus ditempuh adalah memperbaharui sistem pendidikannya.
Di sisi lain bahwa fenomena munculnya sistem pendidikan madrasah juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada saat itu. Politik Hindia Belanda yakni dengan membuka lebih luas akses pendidikan bagi penduduk pribumi, yang semula hanya terbatas pada kaum bangsawan, di samping merupakan politik etik balas budi, juga merupakan salah satu usaha pemerintah Hindia Belanda untuk menundukkan masyarakat pribumi melalui jalur pendidikan. Menurut Hurgronje sistem pendidikan Barat merupakan sarana yang paling baik untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan Islam di wilayah jajahan Belanda tersebut, karena dalam pertandingan antara Islam melawan daya tarik pendidikan Barat dan penyatuan kebudayaan, Islam pasti kalah. Snouck berargumentasi dengan menunjukkan adanya kecenderungan sekolah-sekolah tipe Belandalah yang dapat menarik murid lebih banyak. Melihat fenomena ini, maka pada awal abad 20 dalam kehidupan pesantren terjadi perubahan penting, yakni dimasukkannya sistem madrasah/sistem klasikal ke dalam pesantren. Dengan kata lain, madrasah dalam tahap-tahap tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Hal ini dianggap sebagai perimbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah-sekolah yang memakai sistem pendidikan Barat.
Sebagai lembaga pendidikan yang dilahirkan oleh pesantren, maka madrasah memiliki kesamaan visi. Sistem madrasah yang diperkenalkan oleh pesantren menitikberatkan pada keilmuan agama Islam, di samping pengetahuan umum yang dapat meningkatkan kepekaan sosial dan lingkungan. Keberadaan ini diperkuat lagi dengan sikap non kooperatif para pendirinya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Lembaga ini sengaja tidak menelorkan anak didik sebagai tenaga kerja dan birokrat kolonial.
Awal masa kemerdekaan hingga adanya SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 3 Tahun 1975, madrasah masih konsisten dengan orientasinya sendiri. Perubahan struktur kemudian mendorong madrasah menyesuaikan diri dengan kebutuhan mendasar yang dipolakan oleh sistem pendidikan nasional. Sebagaimana disebutkan dalam SKB tersebut pada pasal 4; (a) Pengelolaan Madrasah dilaksanakan oleh Menteri Agama; (b) Pembinaan mata pelajaran pada madrasah dilaksanakan oleh Menteri Agama.
Jika semula madrasah hanya mengenal sistem kelas, maka kemudian meningkat dengan sistem manajerial madrasah. Ada komponen kurikulum secara teratur, ketatausahaan yang lengkap dan sebagainya. Bila pada awal kemerdekaan, madrasah menolak campur tangan pemerintah, maka mulai MWB (Madrasah Wajib Belajar) pada tahun 1958/1959, madrasah mengakomodasikan sikap. Subsidi dalam bentuk material mulai diterima. Ia mulai membuka keterlibatan pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeri–walaupun secara selektif–mulai diterima, bahkan menjadi kebutuhan terutama bagi yang kekurangan tenaga guru.
Ide peningkatan madrasah yang datang dari pemerintah untuk mengubah orientasi pada pola sistem pendidikan mulai diterima, sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Kurikulum mulai dibicarakan bentuk dan ragamnya sesuai dengan peningkatan kualitasnya.
Sejak itu, banyak perubahan-perubahan besar di madrasah. Kendatipun demikian, pada saat itu madrasah masih dapat konsisten dengan titik tekan disiplin ilmunya, walaupun dipandang dari sudut prestasi mengalami penurunan, terutama dari segi positif sebagai lembaga yang dapat memproduk ulama dan kyai (ahli agama).
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa madrasah mampu menunjukkan daya adaptasi untuk menyerap unsur-unsur inovasi. Lebih dari itu, madrasah mempunyai daya tangkap terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sekelilingnya.
Dinamika dan Problematika
Terbitnya SKB Tiga Menteri tahun 1975 merupakan bagian dari upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan, khususnya di madrasah. Isi SKB tersebut antara lain; pendidikan agama diajarkan di madrasah mencapai 30% dan pendidikan umum 70%. Status madrasah diakui sama-sederajat dengan sekolah umum yang setingkat, sehingga siswa madrasah ibtidaiyah kelas V dapat pindah ke SD kelas V dan begitu pula sebaliknya. Ijazah madrasah juga diakui sederajat dengan sekolah umum yang setingkat.
Konsekuensi dari penerapan SKB tersebut, sejak itu madrasah dituntut mengikuti berbagai perkembangan sosial lebih jauh lagi dan beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. SKB merupakan bagian dari bentuk legalisasi dari tuntutan tersebut. Mulailah madrasah menstandarkan kurikulumnya dengan sekolah negeri.
Adanya beberapa perubahan tersebut, menurut Kyai Sahal Mahfudh ikut mempengaruhi wawasan madrasah. Pendidikan di madrasah mulai berimplikasi pada kebutuhan hidup murid dan status sosial mereka di masa mendatang. Ijazah formal madrasah menjadi amat penting dan berpengaruh mengubah pandangan kea rah duniawi. Nilai belajar li wajhillah mulai pudar atau hilang sama sekali, digeser oleh niat lil ijazah. Pandangan priyayiisme yang dulu ditentang oleh madrasah, sekarang justru ditolelir. Penilaian prestasi madrasah diukur secara kuantitatif dengan banyak sedikitnya siswa yang lulus ujian Negara. Komponen pendidikan agama menjadi suatu yang rutin saja. Rasa ketergantungan kepada pihak lain mulai menggeser watak kemandiriannya.
Gambaran di atas menunjukkan adanya perubahan nilai di madrasah. Orientasi dan titik tekan materi pendidikan yang secara essensial menjadi identitasnya semula, menjadi hambar dengan konsekuensi mengubah posisi madrasah menjadi tidak jelas. Akhirnya madrasah di mata para peserta didik yang kritis, kurang mendapat perhatian kecuali kadang-kadang dianggap hanya sebagai tempat pelarian belajar, atau lembaga ‘kelas dua’.
Rendahnya kualitas madrasah sangat berpengaruh terhadap input madrasah itu sendiri. Para siswa yang mempunyai prestasi bagus pada umumnya melanjutkan ke pendidikan umum yang bonafid. Sementara yang prestasinya pas-pasan, melanjutkan ke madrasah jenjang di tingkat atasnya. Demikian pula siswa sekolah umum yang prestasinya bagus “pasti” akan melanjutkan ke lembaga pendidikan umum di tingkat atasnya. Sedang yang prestasinya pas-pasan, karena tidak diterima di negeri, maka memilih ke swasta, mungkin juga ke madrasah. Dengan demikian madrasah selalu berada pada posisi yang kurang menguntungkan, baik dari segi manajemen maupun inputnya.
Munculnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian diikuti regulasi di bawahnya, semakin memperjelas posisi madrasah sama dengan sekolah umum yang berciri khas Islam. Ciri khas ini sebagaimana disebut Zamachsyari dikembangkan melalui tiga bentuk:
“1. Penjabaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam menjadi 5 mata pelajaran, yaitu: Qur’an Hadis, Fiqh, Aqidah Akhlaq, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. 2. Penciptaan suasana keagamaan, antara lain melalui: a) Suasana kehidupan madrasah yang agamis, b) Adanya sarana ibadah, c) Penggunaan metode pendekatan yang agamis dalam penyajian mata pelajaran yang memungkinkan, dan 3. Kualifikasi guru, antara lain guru madrasah harus beragama Islam dan berakhlaq mulia.”
Dalam praktiknya ciri khas sebagaimana dikemukakan Zamachsyari di atas nampaknya belum memadahi untuk mengangkat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. Menurut Azyumardi Azra, ada persoalan berat yang mendesak untuk diselesaikan para pemikir dan praktisi pendidikan Islam, yakni menyangkut “identitas” atau “distingsi” Islam. Menurutnya, distingsi madrasah tidak memadai sama sekali jika hanya terletak pada guru-gurunya yang memulai setiap pelajaran dengan ucapan “Basmalah” dan “Salam”, atau pada adanya musalla atau fasilitas keagamaan lainnya di lingkungan madrasah; sebab semua itu juga sering ditemukan di sekolah-sekolah umum. Karenanya distingsi itu harus dicari dan dirumuskan pada tingkat epistimologis dan juga aksiologis ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah.
Tanpa mampu memecahkan masalah dilematik; antara mempertahankan identitas dan perlunya perubahan, madrasah jelas tidak mampu melakukan kerja pengembangan yang bersifat konsepsional. Masa depan madrasah sangat bergantung pada kemampuan madrasah dalam mengembangkan dirinya sekaligus memecahkan masalah-masalah dilematis di atas.
Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, ada tiga masalah mendasar yang dihadapi madrasah saat ini; (1) Masalah identitas diri madrasah, dalam hubungannya dengan karakteristik dan kemandiriannya terhadap lembaga-lembaga lainnya di masyarakat. (2) Masalah jenis pendidikan yang dipilih sebagai alternatif dasar yang akan dikelola untuk menciptakan satu sistem pendidikan yang masih memiliki titik tekan keagamaan, tetapi pengetahuan umum tetap diberi porsi cukup sebagai basis mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, dan (3) masalah sumber daya internal yang ada dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri di masa esok.
Abdul wahid merangkum beberapa kelemahan madrasah dari acara TOT inservice training KKM MTs/MI Se-Indonesia antara lain: (1) Ketidakjelasan struktur dan tata kerja, terutama terjadinya tumpang tindih antara wewenang yayasan dan pengelola madrasah. (2) Ketidakjelasan Misi, Visi dan tujuan, (3) Lemahnya Manajemen, antara lain: pendanaan terbatas, lemahnya SDM dan minimnya pengetahuan organisasi dan tata kerja. (4) Kurangnya keterlibatan masyarakat. (5) Lemahnya jejaring (networking).
Kelemahan yang dikemukakan di atas pada dasarnya merupakan persoalan madrasah yang berkaitan dengan sumber daya internal madrasah. Tentu saja setiap daerah memiliki karakteristik persoalan yang tidak sama, namun secara umum ini dapat menggambarkan kelemahan-kelemahan umum yang dimiliki madrasah. Identifikasi permasalahan ini penting sebagai langkah evaluasi diri (self assessment) untuk kemudian dicarikan solusi terbaik bagi perberdayaan madrasah.
MADRASAH DAN MOBILITAS KONTES
Pengertian Mobilitas Kontes
Istilah mobilitas kontes merupakan idiom yang terbentuk dari dua kata yakni mobilitas dan kontes. Istilah ini diadopsi dari bahasa Inggris contest mobility. Secara etimologis kata kontes berarti perlombaan. Kata contest dapat juga diartikan to take part in and try to win something atau an event in which people compete against each other for a prize; a competition. Kontes adalah ikut bagian/berpartisipasi dan mencoba memenangkan sesuatu atau sebuah event di mana orang-orang berkompetisi satu dengan lainnya untuk mendapatkan hadiah/penghargaan; kontes juga berarti sebuah kompetisi. Sedangkan kata mobilitas berasal dari kata sifat mobile yang berarti (of people) able to change class, occupation or place of residence easily. Kata mobil artinya mampu mengubah kelas, pekerjaan atau tempat tinggal dengan mudah. Adapun kata mobilitas (mobility) diartikan kesiapsiagaan untuk bergerak atau gerak perubahan yang terjadi di antara warga masyarakat baik secara fisik maupun secara sosial. Jadi secara bahasa mobilitas kontes dapat diartikan gerak perubahan yang berlangsung pada diri orang atau lembaga dalam upaya berpartisipasi dan mencoba memenangkan kompetisi dengan pihak lain.
Ralph H. Turner adalah tokoh yang pertama memunculkan istilah ini. Dalam sebuah artikel hasil penelitian yang diterbitkan tahun 1960. Ia secara terminologis mendefinisikan mobilitas kontes dengan A process whereby higher social status is gained through the personal effort and ability of an individual competing against others in an open contest. Sebuah proses di mana status sosial yang lebih tinggi diperoleh melalui usaha personal dan kemampuan individual bersaing melawan pihak lain dalam sebuah kompetisi yang terbuka.
Mobilitas kontes merujuk kepada sistem mobilitas sosial di mana semua individu dipandang sebagai partisipan dalam sebuah kompetisi yang menjadikan status elit sebagai tujuan akhir dan kompetisinya sendiri berlangsung terbuka. Gagasan ini kadangkala bereferensi pada istilah tournament mobility dan merupakan lawan dari sponsored mobility.
Jika dalam mobilitas kontes upaya untuk memenangkan persaingan muncul dan dibangun dari internal orang atau lembaga, maka dalam sponsored mobility status yang lebih baik diperoleh lewat usaha dan bantuan pihak lain.
Bila mobilitas kontes ini dikaitkan dengan keberadaan madrasah, maka madrasah sebagai lembaga pendidikan dan menjadi bagian dari sistem sosial mau tidak mau, suka tidak suka untuk menjaga eksistensinya pasti terlibat dalam persaingan dengan lembaga pendidikan lain. Dalam mobilitas kontes ini menekankan upaya dari dalam madrasah sendiri untuk memberdayakan dirinya sehingga memiliki daya saing (competitiveness) dan bukan upaya pihak luar dalam meningkatkan daya saing madrasah.
Upaya menuju Madrasah yang Kompetitif
Daya saing madrasah dalam konteks era kekinian merupakan suatu hal yang mutlak. Daya saing ini berkorelasi dengan mutu madrasah, semakin berkualitas dan professional pengelolaan madrasah maka ia akan semakin kompetitif.
Hal pertama yang harus dilakukan oleh madrasah adalah mengenali secara cermat segudang kelemahan dan permasalahan yang membelit madrasah selama ini. Langkah evaluasi diri ini penting untuk dilakukan sehingga dari sini dapat dicari pemecahan konkret.
Pertama, berkaitan dengan masalah identitas dan pilihan jenis pendidikan. Husni Rahim menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam merupakan nilai jual utama. Jika madrasah sudah tidak lagi memperkuat pendidikan agamanya maka ia akan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Sejauh ini tamatan madrasah tampak serba tanggung, di satu sisi ilmu agamanya tidak mendalam sementara penguasaan ilmu pengetahuan umumnya juga rendah. Sebenarnya pendidikan madrasah adalah konsep ideal karena adanya keterpaduan dan balance antara ilmu agama dan umum. Madrasah seharusnya betul-betul berorientasi pada kompetensi riil. Karena ada kecenderungan orangtua menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan yang mampu menjamin penguasaan kompetensi yang spesifik. Kalau masyarakat berpandangan tidak ada yang spesial dengan madrasah maka jangan salahkan jika tak ada yang tertarik. Karena madrasah sendiri tidak mampu menonjolkan daya tariknya yang berbeda dengan sekolah umum lainnya.
Masalah identitas dan pilihan pendidikan ini berkaitan erat dengan kurikulum. Penerapan kurikulum terintegrasi (Integrated Curriculum) yang bersifat adaptif, inklusif dan saintifik harus diterapkan secara penuh tidak hanya setengah hati. Dalam implementasinya harus mendasarkan diri pada belajar yang berpusat pada diri anak (student centered), bersifat life centered (langsung berhubungan dengan aspek kehidupan) yang berorientasi pada kecakapan hidup, dihadapkan pada situasi yang mengandung problem (problem posing), memajukan perkembangan sosial, dan direncanakan bersama antara guru dan murid. Untuk itu harus ada pola hubungan yang dialogis dan kritis. Begitu juga, harus ada penguatan terintegrasi dalam mata pelajaran yang memungkinkan pengembangan sikap kritis siswa, seperti sejarah, filsafat dan bahasa. Dari sini diharapkan lulusan madrasah tidak lagi diragukan kemampuan dan skillnya sehingga bisa bersaing.
Kedua, berkaitan dengan sumber daya internal madrasah. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang patut dicermati. (1). Penerapan manajemen modern. selama ini madrasah terjangkiti wabah lemahnya manajemen. Ciri khas yang ada adalah manajemen “lillahi ta’ala”. Kelemahan manajemen ini juga tampak dari konflik yang sering muncul antara yayasan sebagai “pemilik” dengan pelaksana madrasah. Padahal mereka merupakan SDM yang menjadi mesin penggerak dinamika madrasah. Kesadaran, pengertian, dan pemahaman dan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan perlu ditanamkan. Dimensi ini merupakan bagian dari dimensi lain yang tingkat mutunya bersinergi. Dimensi lain itu adalah ketrampilan manajemen. Hasil yang optimal akan dicapai manakala tercipta sinergi di antara dimensi tersebut.
Manajemen ini juga sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan madrasah (school leadership). Gaya kepemimpinan madrasah sering kali mengadopsi gaya kepemimpinan pesantren di mana kyai merupakan figur sentral yang sangat dominan dan pemegang otoritas tertinggi. Kyai memegang kekuasaan berlandaskan kewibawaan. Implikasinya adalah keharusan loyalitas santri kepada kyai yang bermuara pada keinginan santri untuk menyenangkan kyai. budaya kepemimpinan yang tradisionil dan kolot semestinya mulai dikikis.
Dalam era kekinian kepemimpinan kepala madrasah dituntut untuk bersifat terbuka dalam menjalankan dan mengeluarkan kebijakan yang ada. Dalam era otonomisasi yang harus dimaksimalkan adalah bentuk kepemimpinan yang demokratis. Kepala madrasah haruslah menjadi seorang yang demokrat yang diteladani dalam lingkungan pendidikan. Ia harus megedepankan semangat transparansi, tidak otoriter, serta bertanggung jawab. Seorang kepala madrasah juga harus humanis dengan senantiasa melibatkan sivitas akademika dalam mengambil kebijakan sehingga tercipta iklim dialogis. Selain itu ia juga mempunyai jiwa melayani stakeholder pendidikan lainnya dan mau berbagi tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan masa depan bersama, yaitu transformasi pendidikan menuju arah yang lebih baik dan manusiawi.
2) Up grade kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik. Guru merupakan figur sentral dalam dunia pendidikan. Realitas yang ada menunjukkan separuh lebih guru di madrasah salah tempat (missed match). Belum lagi banyak pula guru yang belum memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kualitas proses pembelajarannya. Karenanya sangat mendesak untuk meningkatkan kualifikasi dan meminimalisir terjadinya missed match.
(3) Optimalisasi pengembangan potensi siswa. Salah satu kelemahan madrasah adalah rendahnya prestasi siswa. Meski faktor pendukungnya banyak, salah satunya yang cukup menonjol adalah karena pembinaan, bimbingan bakat minat siswa belum diberikan pelayanan yang optimal. Sebagai institusi pelayanan publik semestinya madrasah memberikan pelayanan prima. Sehingga bibit unggul yang dimiliki akan tumbuh dan berkembang secara optimal, tidak justru layu dan bahkan mati.
(4) Perlunya modernisasi madrasah. Perkembangan masyarakat yang semakin modern menuntut madrasah untuk memodernisasi diri. Ini perlu dilakukan agar madrasah tidak ketinggalan jaman yang berakibat akan ditinggalkan masyarakat. Sudah menjadi keprihatinan banyak pihak kalau madrasah selama ini banyak yang berjalan dengan sarana seadanya. Madrasah semestinya mampu mengikuti perkembangan teknologi dengan misalnya mengembangkan smart class berbasis IT (Information Technology). Selain itu juga perlu mengubah paradigma lama menuju paradigma pendidikan modern seperti konsep student center bukan lagi teacher center.
Ketiga, berkaitan dengan lemahnya kerja sama dan hubungan dengan pihak lain yang dibangun madrasah. Menghadapi iklim persaingan yang ketat di era global sekarang ini, mustahil bagi suatu organisasi (termasuk madrasah) bertahan dengan kekuatan sendiri. Membangun kerja sama dan jejaring merupakan suatu keniscayaan yang tak terelakkan.
(1) membangun networking. Ini merupakan suatu usaha atau proses aktif untuk membangun dan mengelola pola kemitraan yang produktif baik antar individu maupun institusi. Selama ini madrasah terkesan berjalan sendiri-sendiri dan kadang saling mematikan. Semestinya madrasah dapat menjalin kemitraan tidak hanya dengan madrasah lain tapi juga dengan stakeholder. Hal ini bisa terwujud kalau madrasah mampu meyakinkan stakeholder dengan mampu menampilkan keunggulan komparatifnya.
(2) membangun kepedulian dan keterlibatan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri jika madrasah dibangun atas prakarsa masyarakat sendiri karena didorong kebutuhan akan lembaga pendidikan. Namun problem yang sering muncul ketika madrasah sudah berdiri, maka keterlibatan aktif masyarakat untuk memikirkan nasib, kelangsungan hidup (apalagi pengembangan dan kemajuan) madrasah relatif kurang. Karena itu perlu kiranya selalu ditumbuhkan sikap proaktif baik dari pengelola maupun masyarakat. Keberadaan lembaga-lembaga seperti Forum Masyarakat Peduli Madrasah (FMPM) atau sejenisnya perlu lebih ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya.
PENUTUP
Simpulan
Era global sekarang ini telah membawa iklim persaingan yang sangat ketat. Keadaan ini pada gilirannya menciptakan mobilitas kontes yakni Sebuah proses di mana status sosial yang lebih tinggi diperoleh melalui usaha personal dan kemampuan individual bersaing melawan pihak lain dalam sebuah kompetisi yang terbuka.
Menghadapi hal itu, madrasah sebagai lembaga pendidikan dan bagian dari sistem sosial mau tidak mau, suka tidak suka untuk menjaga eksistensinya pasti terlibat dalam persaingan dengan lembaga pendidikan lain. Dalam mobilitas kontes ini menekankan upaya dari dalam madrasah sendiri untuk memberdayakan dirinya sehingga memiliki daya saing (competitiveness).
Upaya untuk membangun daya saing itu berangkat dari identifikasi persoalan yang membelit madrasah untuk kemudian dicarikan solusinya. Solusi yang dapat ditawarkan antara lain: (1) merumuskan keunggulan komparatif. (2) Penerapan manajemen modern. (3) Up grade kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik. (4) Optimalisasi pengembangan potensi siswa. (5) modernisasi madrasah. (6) membangun networking, dan (7) membangun kepedulian dan keterlibatan masyarakat.
Penutup.
Demikian makalah sederhana ini kami susun, tentunya banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu saran, masukan dan kritik konstruktif kami sangat harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
BalasHapusSeingat saya makalah yg anda posting sama persis dg makalah saya yg sy pos di alim-online.blogspot.com. Rupanya anda meng copy paste nya. dengan tanpa mengurangi rasa hotmat, mhohn kiranya dpt mencantumkan nama penulis makalah
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
silahkan lihat di link berikut ini
BalasHapushttp://www.alim-online.blogspot.com/2010/01/madrasah-dan-mobilitas-kontes-upaya.html